Ya,
inilah aku. Judith Asyera, 21 tahun. Baru saja melamar kerja dan akhirnya
diterima di sebuah perusahaan batik ternama di Kota Batik. Tinggal di sebuah rumah
peninggalan dari ayah yang terdapat di Jogjakarta. Lumayan, nggak perlu sewa
rumah ataupun cari kost-kostan.
“Bunda,
gimana kabarnya? Aku diterima di perusahaan batik, bunda! Senang banget deh
rasanya. Iya, pasti Judith berikan yang terbaik deh. Makasi dukungannya, bunda!
Judith sayang bunda! Ayo bunda kesini, nanti aku kasih lihat kantor baru aku.
Hehehe.” teleponku pada bunda, mengabarkan kalau aku sudah diterima. Bahagia
banget, bisa bikin bunda seneng. Ayah juga, meskipun ayah sudah tidak bersamaku
sekarang. Penyakit diabetes membawanya pergi tahun lalu. Meninggalkan aku dan
bunda, dengan rumah warisannya.
Ah,
sudah malam. Tak terasa obrolanku dengan bunda lewat telepon sudah lama.
Kuakhiri, dan kuucapkan selamat malam pada bundaku tersayang. Persiapan untuk
kerja esok pagi, lalu berdoa, dan tidur.
Senin,
11 Maret 2013. Aku sudah siap dengan seragam kerja baruku. Motif batik
pastinya. Keluar dari rumah, segera menuju ke garasi mobil. Mobil Jazz biru
metalik warisan ayah juga. Setelah menstarter mobil, langsung berangkat ke
kantor segera. Lumayan, diterima di bagian administrasi itu suatu kejutan bagi
karyawan baru sepertiku. Kerjanya di dalam kantor, jadi nggak perlu takut
menghadapi beraneka-macam konsumen yang memiliki beragam karakter. Selama
perjalanan, tak henti aku membayangkan bagaimana aku menghadapi hari ini di
kantor. Bahagia dan grogi bercampur jadi satu. Campur aduk sekali perasaanku.
Bayangan
di tempat kerjaku sejenak teralihkan saat mobilku berhenti di lampu lalu lintas
Ringroad, Jogjakarta. Saat tatapan mataku menyapu berkeliling, sekilas terpaku
pada seorang lelaki tua. Pakaiannya kumuh dan lusuh, padahal masih pagi. Mendekati
kendaraan-kendaraan yang berhenti di lampu lalu lintas, menanti warna lampu
berubah menjadi warna hijau. Dengan terpincang-pincang dia meminta sedekah dari
pengendara-pengendara tersebut. Kasian juga sih melihatnya. Ah, tapi...
Tinggal
hitungan detik menuju lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Siap-siap kakiku
menekan pedal gas, sejenak melupakan tentang lelaki tua tadi. Selama perjalanan,
terbayang lagi, betapa susahnya bagi lelaki tua tadi mencari uang untuk
menunjang kehidupannya. Sendirian, panas hujan, demi keluarganya. Ah, tapi... Baru
pagi tadi aku dapat pesan singkat dari seorang teman dekatku tentang kehidupan
pengemis.
Seorang pengemis memiliki
penghasilan lebih besar daripada manajer. Bagaimana bisa? Menurut sebuah
penelitian terhadap pengemis, mereka umumnya bekerja di dekat lampu lalu lintas.
Lampu merah atau hijau waktunya sekitar 60 detik. Dan setiap 60 detik, bisa
mendapatkan minimal Rp2000,-. Padahal, 1 jam saja ada 60 kali lampu merah atau
hijau. 60 x Rp2000,- = Rp120.000,- per jam. Jika sehari bekerja 10 jam, yang
artinya 10 x Rp120.000,- = Rp1.200.000,- per hari. Jika sebulan bekerja selama
26 hari saja, 26 x Rp1.200.000 = Rp31.200.000,- per bulannya. Sedangkan
manajer, paling sebulan hanya mendapat Rp10.000.000,- saja.
Aduh,
makmur benar kehidupannya. Hanya menipu dengan dandanan lusuh saja bisa
mendapat hasil jutaan seharinya. Nggak perlu bekerja keras, apalagi kuliah.
Cih, kenapa masih saja ada orang yang memberinya uang.
Pikiranku
berkelana jauh, hingga tak terasa sudah mendekati parkiran kantor. Langsung
kulupakan masalah itu. Fokus ke kantor. Sebagai pegawai baru, harus menunjukkan
wibawa yang bagus nih. Setelah ku parkirkan mobilku, kuambil tas kerja, dan
memasuki kantor.
“Pagi
mbak, pegawai baru ya?” sapa satpam kantor padaku.
“Iya
ini pak. Pagi juga!” sahutku dengan senyum mengembang.
“Sudah
ditunggu Pak Bos tuh mbak. Perkenalan gitu deh biasanya. Hehe,” ujar satpam
tersebut ramah.
Segera
ku menemui atasanku untuk mengetahui tempat dan macam pekerjaanku. Setelah
dijelaskan beberapa saat, aku diantarkan ke meja tempatku bekerja oleh
atasanku. Bangga dan senang rasanya.
“Pegawai
baru ya mbak? Pagi. Kenalin, saya Sheyna, bagian administrasi juga. Jadi kita
bisa kerjasama ya!” salam seorang pegawai seniorku dengan ramah.
“Hehe,
iya. Saya Judith. Makasi mbak...” jawabku dengan senang. Ternyata aku tidak
dicuekin oleh senior-senior disini. Syukurlah. Terimakasih Tuhan.
Obrolan
panjang lebar seputar pekerjaan menyambutku hangat. Setelah berkenalan dengan
beberapa pegawai, aku pun mulai akrab dengan mereka. Apalagi Mbak Sheyna.
Sebagai senior, dia cukup baik, mau mengajariku cara mengatur administrasi dari
tingkat yang paling dasar sampai yang tingkatan yang mampu membuatku pusing
tujuh keliling.
Tak
terasa sudah pukul 16.30, waktunya pulang setelah seharian berkutat dengan pekerjaan
di kantor.
“Yuk
pulang! Kamu pulang naik apa, Dith?” tanya Sheyna padaku.
“Bawa
kendaraan kok mbak, santai saja. Hehe.” jawabku.
“Ya
sudah kalau begitu. Aku duluan ya Dith! Sampai besok pagi. Jangan lupa sama
yang kuajarkan tadi ya. Dibawa santai aja, Dith.” kata Sheyna yang disambut
ucapan selamat tinggal oleh karyawan lainnya juga.
“Oke
mbak, makasih. Sampai besok juga. Hati-hati mbak.” sahutku sambil melambaikan
tangan yang disambut dengan senyum manisnya Mbak Sheyna.
Di
perjalanan pulang, kembali aku melewati jalan tadi pagi. Ya, berhenti di
perempatan jalan di Ringroad. Dan benar tebakanku, lelaki tua itu masih saja
berada di tempat yang sama seperti tadi, dengan pakaian yang pastinya lebih
lusuh daripada tadi pagi. Langit mulai meneteskan air matanya. Sedikit demi
sedikit membasahi bumi. Setelah menyadari dirinya akan kehujanan, lelaki tua
itu menepikan dirinya dengan terpincang-pincang di bawah gubuk kecil di
seberang jalan. Hujan semakin deras. Masih menunggu sekitar satu menit lagi
sampai lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Ingin ku memberikan pada lelaki
tua itu salah satu payung di mobilku. Hujan-hujan seperti ini lebih enak jika
berkumpul dengan keluarga. Akan terasa lebih hangat pastinya. Tapi buat apa?
Tak ada untungnya buatku. Lagipula aku di kota ini juga sendirian, tak ada
keluarga. Ah biarlah, aku butuh istirahat juga. Biarlah setelah hujan reda kan
lelaki itu bisa pulang ke rumahnya, ya jika dia punya rumah sih.
Lampu
lalu lintas sudah berubah warna, segera aku melaju menuju rumahku. Ah. Apa yang
telah kupikirkan tadi sih? Sampai-sampai aku sekejam itu dengan lelaki tua yang
telah bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya. Meskipun dia tidak
memiliki apa-apa, tetapi lelaki tua itu masih memiliki harga diri. Duh! Begitu
egoisnya aku! Seandainya aku tadi memberikan salah satu payungku, lelaki tua
itu pasti sudah di rumahnya sekarang, berkumpul dengan istri dan anak-anaknya.
Terlambat. Mobilku sudah memasuki gerbang rumahku. Yah, semoga hujannya cepat
reda sajalah. Supaya lelaki tua tersebut bisa kembali ke rumahnya.
Setelah
kututup gerbang, masuklah aku ke kamarku. Capek sekali. Ah, besok pagi sewaktu
berangkat ke kantor saja aku membantu materi lelaki tua itu. Yah, meskipun
keuanganku juga sangat pas-pasan, dan baru saja masuk kerja, tapi ya sudahlah,
anggap saja untuk membayar imajinasiku yang terlalu tinggi tadi, pemikiran yang
tidak berdasar terhadap orang lain.
Setelah
mandi dan makan malam, kubuka telepon genggamku. Ah, ada pesan masuk. Ternyata
bunda yang mengirimiku pesan. Bertanya bagaimana hari pertamaku di kantor. Duh,
bunda memang sangat perhatian padaku. Segera kutelepon bunda malam itu. “Malam
bunda... Lagi apa nih? Di kantor asyik bunda, belum begitu banyak pekerjaan
sih. Seniornya juga baik-baik kok bunda.” ceritaku pada bunda. Tak
kutunda-tunda untuk menceritakan semuanya pada bunda.
Tak
terasa sudah lama aku bercerita dengan bunda.
“Dek, tidur gih, sudah
malam. Besok kamu kan masih harus kerja. Sudah dulu ya teleponnya. Bunda juga
sudah capek nih.” saran bunda padaku. Ah, senang kalau dipanggil ‘dek’ sama
bunda. Jadi ngerasa punya kakak.
“Oke bunda. Makasih,
malam bunda. Mimpi indah. Sayang bunda.” jawabku dengan senyum terpancar di
bibirku.
Kumatikan panggilan,
lalu kutaruh telepon genggamku di atas meja. Setelah berdoa, aku langsung
terbang ke alam mimpi.
Selasa,
12 Maret 2013. Setelah siap berangkat ke kantor, tak lupa ku periksa ulang
amplop yang akan kuberikan kepada lelaki tua itu. Kukeluarkan mobil Jazz
milikku segera. Semoga aku bisa bertemu dengan lelaki tua itu lagi. Tak lama,
aku sudah hampir sampai di Ringroad. Kupelankan laju mobilku, sambil mencari
dimana gerangan lelaki tua tersebut. Ah itu dia, ternyata lelaki tua tersebut
masih berjalan dengan terseok-seok. Kunanti lampu lalu lintas yang berubah
menjadi merah. Perlahan lelaki tua itu mendatangi mobilku.
“Pak,
kalau tidak keberatan, boleh ke seberang sana sebentar pak? Saya mau memberi
sebagian dana saya untuk bapak.” tanyaku perlahan, takut menyinggung
perasaannya.
“Oh
ya mbak. Terimakasih ya mbak. Di dekat gubuk itu saja ya, mbak.” sahut lelaki
tua itu datar. Meskipun datar, tapi aku dapat melihat binar cerah di matanya, kuyakin
lelaki tua itu pasti senang.
“Oke
pak, hati-hati menyeberangnya. Saya tunggu lampu lalu lintas jadi hijau
sebentar.” jawabku lega. Semoga lelaki itu menerima pemberianku.
Masih
satu menit. Kusiapkan amplop yang tadi kutaruh di tas, agar nanti dapat segera
kuberikan padanya. 30 detik lagi. Tiba-tiba kudengar suara rem yang menjerit
memilukan hati. Ciiiiiiit....!!!!! Suara rem mendadak dari arah seberang. Deg!
Langsung kutengok ke seberang. Siapa itu?! Darahnya berceceran dimana-mana.
Kucari gerangan lelaki tua di dekat gubuk yang dimaksudnya tadi. Tidak ada.
Apakah...? Ah! Jangan berpikir aneh-aneh Judith!
Setelah
lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, segera ku menuju ke seberang,
bermaksud mencari lelaki tua itu. Semoga bukan lelaki tua itu, ya Tuhan.
Harap-harap cemas agar maksud tujuanku bisa terlaksana dengan baik. Kuhentikan
mobilku tepat di samping gubuk tersebut.
“Pak?
Bapak dimana?” kucoba memanggil, berharap ada jawaban darinya. Tapi sayangnya
tidak ada. Kudatangi orang-orang yang mengerubungi mayat korban tabrakan itu
tadi. Wajahnya sudah tak berbentuk lagi, hancur. Terlindas oleh ban truk yang
melaju dengan kecepatan tinggi. Kulihat bajunya. Sama seperti yang dikenakan
lelaki tua tadi. Jangan-jangan...?
“Maaf,
bang, ini siapa ya?” aku bertanya memberanikan diri pada seseorang pemuda yang
melihat disitu.
“Sepertinya
pengemis yang setiap pagi dan sore di perempatan ini mbak. Tadi saya lihat
sewaktu bapak itu menyeberang jalan. Sepertinya baru mendapat hadiah begitu
mbak, soalnya mukanya kelihatan senang, nggak seperti biasanya.” jelas pemuda
itu.
Deg!
Ternyata benar. Tak kuasa, air mataku menetes. Hanya sekitar tiga puluh detik
dari kata-kataku agar lelaki tua tersebut berhati-hati. Ah! Perasaanku langsung
menjadi tak karuan. Campur aduk, sedih, kecewa. Argh! Tenang, Judith, tenang.
Kucoba mensugesti diriku sendiri.
“Bang,
bapak ini punya keluarga? Rumahnya di sebelah mana ya?”
“Kalau
tidak salah, di sebelah gubuk itu ada jalan kecil, rumahnya di dekat pos
kamling.” jawab pemuda tadi sambil menggeser mayat lelaki tua itu tadi.
“Ah.
Terimakasih bang.” sahutku singkat. Ah! Kenapa kemarin aku harus berpikir buruk
tentang lelaki tua itu sih? Bagaimanapun aku harus memberikan amplop ini kepada
keluarganya. Segera kucari rumah keluarganya sesuai petunjuk pemuda itu tadi.
Dekat
pos kamling... Hmm. Akhirnya kutemukan rumah berukuran 2 x 3 meter.
“Permisi...”
ujarku sambil mengetok pintunya. Tidak ada yang menjawab. Kubuka pintunya
perlahan. Sepi. Tak ada orang. Tak ada apa-apa selain beberapa pakaian
seadanya. Lelaki tua itu tinggal sendiri ternyata. Bagaimana dengan uang ini?
Untuk siapa? Kutinggalkan rumah sepi itu, kututup lagi pintunya seperti tadi.
Kembali
ke tempat tadi, ternyata sudah sepi. Kucari pemuda yang mengurus lelaki tua
itu.
“Bang,
sudah dikuburkan atau bagaimana? Ini saya mau membantu dananya boleh?”
“Mbak
siapanya bapak ini? Setau saya beliau tinggal sendiri. Sudah saya siapkan
pemakamannya, tapi sederhana saja, karena memakai dana kelurahan sini. Kalau
mau membantu boleh-boleh saja, saya terima. Terimakasih sekali mbak.” jawab
pemuda itu.
“Saya
sering melihat bapak ini di perempatan sini, ini cuma sekedar membantu
sebisanya saja. Terimakasih bang.” jawabku. Setelah menyelesaikannya, langsung aku
menuju ke mobilku. Perlahan, kuinjak pedal gas menuju ke arah kantorku.
“Doaku
menyertaimu pak...” kataku sambil melanjutkan perjalanan.
Aku
berpikir, musibah bisa terjadi sewaktu-waktu. Akan lebih baik kalau kita
menggunakan kesempatan selama kita hidup untuk berbuat baik kepada siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar