Sabtu, 22 Juni 2013

Tiba-tiba...


            Ya, inilah aku. Judith Asyera, 21 tahun. Baru saja melamar kerja dan akhirnya diterima di sebuah perusahaan batik ternama di Kota Batik. Tinggal di sebuah rumah peninggalan dari ayah yang terdapat di Jogjakarta. Lumayan, nggak perlu sewa rumah ataupun cari kost-kostan.
            “Bunda, gimana kabarnya? Aku diterima di perusahaan batik, bunda! Senang banget deh rasanya. Iya, pasti Judith berikan yang terbaik deh. Makasi dukungannya, bunda! Judith sayang bunda! Ayo bunda kesini, nanti aku kasih lihat kantor baru aku. Hehehe.” teleponku pada bunda, mengabarkan kalau aku sudah diterima. Bahagia banget, bisa bikin bunda seneng. Ayah juga, meskipun ayah sudah tidak bersamaku sekarang. Penyakit diabetes membawanya pergi tahun lalu. Meninggalkan aku dan bunda, dengan rumah warisannya.
            Ah, sudah malam. Tak terasa obrolanku dengan bunda lewat telepon sudah lama. Kuakhiri, dan kuucapkan selamat malam pada bundaku tersayang. Persiapan untuk kerja esok pagi, lalu berdoa, dan tidur.

            Senin, 11 Maret 2013. Aku sudah siap dengan seragam kerja baruku. Motif batik pastinya. Keluar dari rumah, segera menuju ke garasi mobil. Mobil Jazz biru metalik warisan ayah juga. Setelah menstarter mobil, langsung berangkat ke kantor segera. Lumayan, diterima di bagian administrasi itu suatu kejutan bagi karyawan baru sepertiku. Kerjanya di dalam kantor, jadi nggak perlu takut menghadapi beraneka-macam konsumen yang memiliki beragam karakter. Selama perjalanan, tak henti aku membayangkan bagaimana aku menghadapi hari ini di kantor. Bahagia dan grogi bercampur jadi satu. Campur aduk sekali perasaanku.
            Bayangan di tempat kerjaku sejenak teralihkan saat mobilku berhenti di lampu lalu lintas Ringroad, Jogjakarta. Saat tatapan mataku menyapu berkeliling, sekilas terpaku pada seorang lelaki tua. Pakaiannya kumuh dan lusuh, padahal masih pagi. Mendekati kendaraan-kendaraan yang berhenti di lampu lalu lintas, menanti warna lampu berubah menjadi warna hijau. Dengan terpincang-pincang dia meminta sedekah dari pengendara-pengendara tersebut. Kasian juga sih melihatnya. Ah, tapi...
            Tinggal hitungan detik menuju lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Siap-siap kakiku menekan pedal gas, sejenak melupakan tentang lelaki tua tadi. Selama perjalanan, terbayang lagi, betapa susahnya bagi lelaki tua tadi mencari uang untuk menunjang kehidupannya. Sendirian, panas hujan, demi keluarganya. Ah, tapi... Baru pagi tadi aku dapat pesan singkat dari seorang teman dekatku tentang kehidupan pengemis.
Seorang pengemis memiliki penghasilan lebih besar daripada manajer. Bagaimana bisa? Menurut sebuah penelitian terhadap pengemis, mereka umumnya bekerja di dekat lampu lalu lintas. Lampu merah atau hijau waktunya sekitar 60 detik. Dan setiap 60 detik, bisa mendapatkan minimal Rp2000,-. Padahal, 1 jam saja ada 60 kali lampu merah atau hijau. 60 x Rp2000,- = Rp120.000,- per jam. Jika sehari bekerja 10 jam, yang artinya 10 x Rp120.000,- = Rp1.200.000,- per hari. Jika sebulan bekerja selama 26 hari saja, 26 x Rp1.200.000 = Rp31.200.000,- per bulannya. Sedangkan manajer, paling sebulan hanya mendapat Rp10.000.000,- saja.
            Aduh, makmur benar kehidupannya. Hanya menipu dengan dandanan lusuh saja bisa mendapat hasil jutaan seharinya. Nggak perlu bekerja keras, apalagi kuliah. Cih, kenapa masih saja ada orang yang memberinya uang.
            Pikiranku berkelana jauh, hingga tak terasa sudah mendekati parkiran kantor. Langsung kulupakan masalah itu. Fokus ke kantor. Sebagai pegawai baru, harus menunjukkan wibawa yang bagus nih. Setelah ku parkirkan mobilku, kuambil tas kerja, dan memasuki kantor.
            “Pagi mbak, pegawai baru ya?” sapa satpam kantor padaku.
            “Iya ini pak. Pagi juga!” sahutku dengan senyum mengembang.
            “Sudah ditunggu Pak Bos tuh mbak. Perkenalan gitu deh biasanya. Hehe,” ujar satpam tersebut ramah.
            Segera ku menemui atasanku untuk mengetahui tempat dan macam pekerjaanku. Setelah dijelaskan beberapa saat, aku diantarkan ke meja tempatku bekerja oleh atasanku. Bangga dan senang rasanya.
            “Pegawai baru ya mbak? Pagi. Kenalin, saya Sheyna, bagian administrasi juga. Jadi kita bisa kerjasama ya!” salam seorang pegawai seniorku dengan ramah.
            “Hehe, iya. Saya Judith. Makasi mbak...” jawabku dengan senang. Ternyata aku tidak dicuekin oleh senior-senior disini. Syukurlah. Terimakasih Tuhan.
            Obrolan panjang lebar seputar pekerjaan menyambutku hangat. Setelah berkenalan dengan beberapa pegawai, aku pun mulai akrab dengan mereka. Apalagi Mbak Sheyna. Sebagai senior, dia cukup baik, mau mengajariku cara mengatur administrasi dari tingkat yang paling dasar sampai yang tingkatan yang mampu membuatku pusing tujuh keliling.
            Tak terasa sudah pukul 16.30, waktunya pulang setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di kantor.
            “Yuk pulang! Kamu pulang naik apa, Dith?” tanya Sheyna padaku.
            “Bawa kendaraan kok mbak, santai saja. Hehe.” jawabku.
            “Ya sudah kalau begitu. Aku duluan ya Dith! Sampai besok pagi. Jangan lupa sama yang kuajarkan tadi ya. Dibawa santai aja, Dith.” kata Sheyna yang disambut ucapan selamat tinggal oleh karyawan lainnya juga.
            “Oke mbak, makasih. Sampai besok juga. Hati-hati mbak.” sahutku sambil melambaikan tangan yang disambut dengan senyum manisnya Mbak Sheyna.
            Di perjalanan pulang, kembali aku melewati jalan tadi pagi. Ya, berhenti di perempatan jalan di Ringroad. Dan benar tebakanku, lelaki tua itu masih saja berada di tempat yang sama seperti tadi, dengan pakaian yang pastinya lebih lusuh daripada tadi pagi. Langit mulai meneteskan air matanya. Sedikit demi sedikit membasahi bumi. Setelah menyadari dirinya akan kehujanan, lelaki tua itu menepikan dirinya dengan terpincang-pincang di bawah gubuk kecil di seberang jalan. Hujan semakin deras. Masih menunggu sekitar satu menit lagi sampai lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Ingin ku memberikan pada lelaki tua itu salah satu payung di mobilku. Hujan-hujan seperti ini lebih enak jika berkumpul dengan keluarga. Akan terasa lebih hangat pastinya. Tapi buat apa? Tak ada untungnya buatku. Lagipula aku di kota ini juga sendirian, tak ada keluarga. Ah biarlah, aku butuh istirahat juga. Biarlah setelah hujan reda kan lelaki itu bisa pulang ke rumahnya, ya jika dia punya rumah sih.
            Lampu lalu lintas sudah berubah warna, segera aku melaju menuju rumahku. Ah. Apa yang telah kupikirkan tadi sih? Sampai-sampai aku sekejam itu dengan lelaki tua yang telah bersusah payah mencari nafkah untuk keluarganya. Meskipun dia tidak memiliki apa-apa, tetapi lelaki tua itu masih memiliki harga diri. Duh! Begitu egoisnya aku! Seandainya aku tadi memberikan salah satu payungku, lelaki tua itu pasti sudah di rumahnya sekarang, berkumpul dengan istri dan anak-anaknya. Terlambat. Mobilku sudah memasuki gerbang rumahku. Yah, semoga hujannya cepat reda sajalah. Supaya lelaki tua tersebut bisa kembali ke rumahnya.
            Setelah kututup gerbang, masuklah aku ke kamarku. Capek sekali. Ah, besok pagi sewaktu berangkat ke kantor saja aku membantu materi lelaki tua itu. Yah, meskipun keuanganku juga sangat pas-pasan, dan baru saja masuk kerja, tapi ya sudahlah, anggap saja untuk membayar imajinasiku yang terlalu tinggi tadi, pemikiran yang tidak berdasar terhadap orang lain.
            Setelah mandi dan makan malam, kubuka telepon genggamku. Ah, ada pesan masuk. Ternyata bunda yang mengirimiku pesan. Bertanya bagaimana hari pertamaku di kantor. Duh, bunda memang sangat perhatian padaku. Segera kutelepon bunda malam itu. “Malam bunda... Lagi apa nih? Di kantor asyik bunda, belum begitu banyak pekerjaan sih. Seniornya juga baik-baik kok bunda.” ceritaku pada bunda. Tak kutunda-tunda untuk menceritakan semuanya pada bunda.
            Tak terasa sudah lama aku bercerita dengan bunda.
“Dek, tidur gih, sudah malam. Besok kamu kan masih harus kerja. Sudah dulu ya teleponnya. Bunda juga sudah capek nih.” saran bunda padaku. Ah, senang kalau dipanggil ‘dek’ sama bunda. Jadi ngerasa punya kakak.
“Oke bunda. Makasih, malam bunda. Mimpi indah. Sayang bunda.” jawabku dengan senyum terpancar di bibirku.
Kumatikan panggilan, lalu kutaruh telepon genggamku di atas meja. Setelah berdoa, aku langsung terbang ke alam mimpi.

            Selasa, 12 Maret 2013. Setelah siap berangkat ke kantor, tak lupa ku periksa ulang amplop yang akan kuberikan kepada lelaki tua itu. Kukeluarkan mobil Jazz milikku segera. Semoga aku bisa bertemu dengan lelaki tua itu lagi. Tak lama, aku sudah hampir sampai di Ringroad. Kupelankan laju mobilku, sambil mencari dimana gerangan lelaki tua tersebut. Ah itu dia, ternyata lelaki tua tersebut masih berjalan dengan terseok-seok. Kunanti lampu lalu lintas yang berubah menjadi merah. Perlahan lelaki tua itu mendatangi mobilku.
            “Pak, kalau tidak keberatan, boleh ke seberang sana sebentar pak? Saya mau memberi sebagian dana saya untuk bapak.” tanyaku perlahan, takut menyinggung perasaannya.
            “Oh ya mbak. Terimakasih ya mbak. Di dekat gubuk itu saja ya, mbak.” sahut lelaki tua itu datar. Meskipun datar, tapi aku dapat melihat binar cerah di matanya, kuyakin lelaki tua itu pasti senang.
            “Oke pak, hati-hati menyeberangnya. Saya tunggu lampu lalu lintas jadi hijau sebentar.” jawabku lega. Semoga lelaki itu menerima pemberianku.
            Masih satu menit. Kusiapkan amplop yang tadi kutaruh di tas, agar nanti dapat segera kuberikan padanya. 30 detik lagi. Tiba-tiba kudengar suara rem yang menjerit memilukan hati. Ciiiiiiit....!!!!! Suara rem mendadak dari arah seberang. Deg! Langsung kutengok ke seberang. Siapa itu?! Darahnya berceceran dimana-mana. Kucari gerangan lelaki tua di dekat gubuk yang dimaksudnya tadi. Tidak ada. Apakah...? Ah! Jangan berpikir aneh-aneh Judith!
            Setelah lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, segera ku menuju ke seberang, bermaksud mencari lelaki tua itu. Semoga bukan lelaki tua itu, ya Tuhan. Harap-harap cemas agar maksud tujuanku bisa terlaksana dengan baik. Kuhentikan mobilku tepat di samping gubuk tersebut.
            “Pak? Bapak dimana?” kucoba memanggil, berharap ada jawaban darinya. Tapi sayangnya tidak ada. Kudatangi orang-orang yang mengerubungi mayat korban tabrakan itu tadi. Wajahnya sudah tak berbentuk lagi, hancur. Terlindas oleh ban truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Kulihat bajunya. Sama seperti yang dikenakan lelaki tua tadi. Jangan-jangan...?
            “Maaf, bang, ini siapa ya?” aku bertanya memberanikan diri pada seseorang pemuda yang melihat disitu.
            “Sepertinya pengemis yang setiap pagi dan sore di perempatan ini mbak. Tadi saya lihat sewaktu bapak itu menyeberang jalan. Sepertinya baru mendapat hadiah begitu mbak, soalnya mukanya kelihatan senang, nggak seperti biasanya.” jelas pemuda itu.
            Deg! Ternyata benar. Tak kuasa, air mataku menetes. Hanya sekitar tiga puluh detik dari kata-kataku agar lelaki tua tersebut berhati-hati. Ah! Perasaanku langsung menjadi tak karuan. Campur aduk, sedih, kecewa. Argh! Tenang, Judith, tenang. Kucoba mensugesti diriku sendiri.
            “Bang, bapak ini punya keluarga? Rumahnya di sebelah mana ya?”
            “Kalau tidak salah, di sebelah gubuk itu ada jalan kecil, rumahnya di dekat pos kamling.” jawab pemuda tadi sambil menggeser mayat lelaki tua itu tadi.
            “Ah. Terimakasih bang.” sahutku singkat. Ah! Kenapa kemarin aku harus berpikir buruk tentang lelaki tua itu sih? Bagaimanapun aku harus memberikan amplop ini kepada keluarganya. Segera kucari rumah keluarganya sesuai petunjuk pemuda itu tadi.
            Dekat pos kamling... Hmm. Akhirnya kutemukan rumah berukuran 2 x 3 meter.
            “Permisi...” ujarku sambil mengetok pintunya. Tidak ada yang menjawab. Kubuka pintunya perlahan. Sepi. Tak ada orang. Tak ada apa-apa selain beberapa pakaian seadanya. Lelaki tua itu tinggal sendiri ternyata. Bagaimana dengan uang ini? Untuk siapa? Kutinggalkan rumah sepi itu, kututup lagi pintunya seperti tadi.
            Kembali ke tempat tadi, ternyata sudah sepi. Kucari pemuda yang mengurus lelaki tua itu.
            “Bang, sudah dikuburkan atau bagaimana? Ini saya mau membantu dananya boleh?”
            “Mbak siapanya bapak ini? Setau saya beliau tinggal sendiri. Sudah saya siapkan pemakamannya, tapi sederhana saja, karena memakai dana kelurahan sini. Kalau mau membantu boleh-boleh saja, saya terima. Terimakasih sekali mbak.” jawab pemuda itu.
            “Saya sering melihat bapak ini di perempatan sini, ini cuma sekedar membantu sebisanya saja. Terimakasih bang.” jawabku. Setelah menyelesaikannya, langsung aku menuju ke mobilku. Perlahan, kuinjak pedal gas menuju ke arah kantorku.
            “Doaku menyertaimu pak...” kataku sambil melanjutkan perjalanan.
            Aku berpikir, musibah bisa terjadi sewaktu-waktu. Akan lebih baik kalau kita menggunakan kesempatan selama kita hidup untuk berbuat baik kepada siapapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Entries